Senin, 28 November 2016

LESTARIKAN TULISAN PEGON.



Di antara kekayaan dari khazanah Pesantren yang pernah 'menasional' ialah TULISAN PEGO atau PEGON. Pegon atau sering disebut Arab Pego atau Arab Jawi merupakan tulisan berabjad huruf Arab (huruf hijaiyah) yang berakulturasi budaya dengan bahasa daerah di Indonesia dan cara membacanya beda dengan bahasa Arab. Dalam Pegon abjad-abajad huruf hijaiiyah dipakai guna melafadzkan bahasa daerah di Indonesia.
Huruf Pegon tidak hanya ada di Jawa dan Sunda, di daerah Riau, bahkan Brunai dan Malaysia, juga ada tulisan Pegon yang lazim disebut dengan Arab Melayu. Ada sebuah kamus Arab-Melayu yang terrkenal dengan nama KAMUS MARBAWI yang tulisannya semua dengan 'huruf Arab' (Yang bahasa Arab menggunakan huruf Arab asli dan yang Bahasa Melayu menggunakan huruf Pegon).
Sayang dengan semakin besarnya pengaruh Barat dan kecenderungan orang melatinkan tulisan-tulisan dalam bahasa Indonesia maupun daerah, 'budaya tulisan pegon' pun terkikis. Bahkan, seperti tulisan Jawa, sudah banyak yang tidak mengenal aksara Pegon itu. Kalau pun masih ada yang menggunakan, paling-paling di pesantren saja.
Beberapa waktu yang lalu, budayawan dan sastrawan Syubah Asa --Allãh yarhamuh-- dengan semangat mengembalikan 'kekayaan budaya' kita, merintis bulletin beraksara Pegon. Bulletin yang indah. Sayang hanya terbit beberapa nomor dan sama sekali tak berlanjut setelah wafatnya sastrawan yang pernah menerjemahkan dan mementaskan Al-Barzanji bersama Seniman Rendra ini.
Waba'du; alhamdulillah, dengan terbitnya buku Tuntunan Baca Tulis Pegon Indonesia ini, diharapkan juga dapat menghidupkan gairah menguri-uri kekayaan budaya pesantren dan Indonesia yang sudah semakin asing ini. Dan tulisan pegon digunakan kembali tidak hanya di pesantren-pesantren saja.
Semoga.

Rembang, 1 Sya'ban 1436 H

K.H. A. MUSTOFA BISRI


Sabtu, 26 November 2016

TUNTUNAN BACA TULIS PEGON


Pegon adalah tulisan arab yang berkalimat selain bahasa arab. Pegon merupakan
piwulang dari Ulama’ salaf kuno di jawa. Sehingga tidak ada patho’an yang khusus
dalam cara menulisnya seperti kalimat arab.

Untuk itu, bagi pemula yang sudah mahir membaca Al Qur’an, belum tentu langsung
bisa membaca pegon dengan lancar. Sedangkan mengaji kitab kuning tidak bisa lepas
dari membaca pegon untuk mema’nai lafadz pada kitab kuning tersebut.


Oleh sebab itu, kami suguhkan kitab “ Tuntunan Baca Tulis Pegon“ kepada muslimin/
Muslimat agar menjadi jembatan antara membaca Al Qur’an dan membaca kitab
kuning, supaya lebih mudah..

Kami yakin, pasti banyak kekurangan dan kekhilafan, untuk itu kami berharap ma’af
yang sebesar-besarnya.

Semoga Barokah, Amin.

Cara Mengajar :

1. Salam.
2. Baca Al Fatihah   ..........( الفاتحة )
3. Menerangkan kotak paling atas contoh :
Bacaan O & A pegonnya ـاَ / اَ..., Murid tidak usah menirukan, tapi cukup bagaimana bisa paham, sehingga nanti bisa membaca dan tahu cara menulisnya.

Perhatian :
Pada tulisan sopo ditulis pegon ( سَفَا ) memang disengaja penulis, karena biar pengalaman bisa ditulis tanpa huruf alif ( سَفَ )  sebab kadang - kadang begitu.

4. Guru mulai membaca, Murid menirukan secara serempak per-kata, setelah selesai 1 halaman. Murid yang membaca bersama-sama, kemudian ditunjuk satu persatu tidak harus semua murid.

5. Kemudian Murid diberi waktu untuk menulis pada halaman ( ٢ )yang selesai duluan disuruh maju kedepan untuk sorogan, adapun yang dibaca adalah tulisannya sendiri, kemudian ustadz memberikan nilai pada halaman satu dengan angka.

ORIENTASI METHODE IBTIDAI

ORIENTASI METHODE IBTIDAI


IBTIDAI adalah Metode Belajar menulis pegon (memberi ma’na ala pesantren) dan Belajar membaca kitab kuning yang sangat mudah.

Prioritas Sasaran :
Untuk Pasca TPQ/TPA dengan asumsi kelas III SD/MI dan bisa diajarkan kepada para pemula yang menginginkan dari berbagai tingkatan MTs./SMP - MA/SMA/SMK dan Perguruan Tinggi.

Target Keberhasilan :
Anak didik Pasca TPQ/TPA dalam masa belajar 1 tahun pada tiap harinya 1 jam pembelajaran berhasil mengkhatamkan/membaca kitab yang tanpa harokat dan ma’na minimal 2 kitab yaitu Tijan Ad Darori dan Safinatunnajah beserta ilmu alatnya menyusul pada tahun-tahun berikutnya. Dengan asumsi pembelajaran IBTIDAI dimulai dari kelas III SD/MI, insya Allah anak lulus SD/MI telah mampu membaca kitab kuning sejumlah 2 x 4 Tahun = 8 kitab

Tujuan IBTIDAI :
1.  Memberikan pendidikan dan pengetahuan materi agama (ala pesantren) sejak dini, agar Fondamen Agama dapat dimiliki oleh generasi muslim lebih awal, untuk mensikapi kemajuan tekhnologi yang sungguh dahsyat ini.
2. Menciptakan arah berfikir Anak didik setingkat SD/MI, mempunyai keinginan memperdalam modal keilmuan agama yang sudah dimilikinya ke arah yang lebih dalam, yaitu pondok pesantren. Sehingga pondok pesantren bukan sebagai alternatif pendidikan mereka, akan tetapi menjadi tujuan dan sasaran mengarahkan langkah kedepannya, karena nilai lebih dari pondok pesantren adalah menjunjung tinggi Akhlaqul Karimah yang pada masa ini sudah terabaikan.

Nilai Lebih IBTIDAI :
1.  Belajar membaca kitab kuning dengan Metode IBTIDAI, sangat mendukung materi pendidikan sekolah formal, karena dengan sangat mudahnya mempelajari kitab kuning ala IBTIDAI anak didik tidak merasa terbebani dengan materi agamanya. Dengan tanpa hafalan yang berat, waktu dan energi belajar sekolah formal masih tersisa lebih.
2.  Bagi penghafal Al Qur’an, IBTIDAI adalah methode pendukungnya, karena hafalan yang ada sangat ringan, sehingga tidak berbenturan dengan tugas hafalan kesehariannya. Harapan IBTIDAI adalah, para penghafal Al Qur’an tidak lagi adanya rasa khawatir apabila dengan mempelajari kitab kuning hafalan Al Qur’annya menjadi lemah dan tidak lancar.

Pendidik IBTIDAI Sangat Ringan.
Pengajar/Pendidik Membaca Kitab Kuning ala IBTIDAI sangat mudah dan ringan, sekalipun kepada beliau-beliau yang sudah banyak tugas atau tanggungjawab ekonomi dan keluarga.
Pengajar IBTIDAI tidak harus beliau-beliau yang sudah mahir membaca kitab kuning atau Alumnus pesantren yang terkemuka. Tetapi pengajar IBTIDAI adalah beliau-beliau yang tulus hati peduli terhadap agama dan generasinya yang pada saat ini sangat memprihatinkan. Hanya bermodal membaca Al Qur’an yang benar sesuai aturannya, para ustadz/ustadzah mampu mengajarkan kitab kuning ala IBTIDAI. Setelah kitab Metode IBTIDAI selesai barulah dihaturkan kepada beliau yang ‘Alim dan ahli dalam memperdalam kitab kuningnya yaitu pondok pesantren.

Tugas IBTIDAI adalah men”awali”.
Awal dari pengenalan terhadap ilmunya ulama’ dan awal mencintai para ‘ulama’nya. Jika generasi kita di awali dengan rasa cinta terhadap ilmunya ‘ulama’ dan mencintai ‘ulama’ sebagai imam agamanya, insya Allah akan terbentuk generasi Islami yang tidak mencampakkan nilai-nilai agamanya.

Gerakan Ustadzah Mengajar Kitab Kuning.
Melihat keberhasilan TPQ/TPA di Indonesia dalam Ta’limul Qur’annya, adalah hasil kerja keras dari sebagian besar oleh para Ustadzah dan sedikit sekali dari para Ustadznya, maka IBTIDAI berkeinginan melanjutkan suksesnya para ustadzah tersebut pada jenjang kelanjutannya yaitu membaca kitab kuning. Dengan Metode Belajar Mengajar yang sangat ringan dan tidak perlu menguasai materi ilmu alat yang rumit, insya Allah para Ustadzah akan lebih berkiprah lagi menciptakan generasi-generasi muslim yang mahir dalam membaca Al Qur’annya dan sekaligus kitab kuningnya sebagai Pasca TPQ/ TPA-nya, hingga kemudian dihaturkan kepada ‘alim pada tingkat pendalaman ilmunya.

Tolak Ukur Keberhasilan IBTIDAI.
Yang menjadi target ukuran awal keberhasilan Metode IBTIDAI adalah, Terselenggaranya acara Wisuda Kitab Tijan Addarori oleh lembaga yang mengajarkannya. Wisuda tersebut sebagai Alat Nasyrul Ilmi IBTIDAI kepada masyarakat awam, agar mengetahui dan menarik minat masyarakat awam untuk mengenal kitab kuning dan merasakan materi pesantren. Jika kitab pertama yaitu Tijan Addarori telah terkuasai dengan baik, insya Allah kitab-kitab sesudahnya akan mudah untuk diajarkannya karena ibarat jalan tinggal melaluinya.

Methodologi  IBTIDAI
1.  Kitab-kitab Salaf yang didesain oleh IBTIDAI hanya bisa diajarkan secara berurutan, tidak boleh mengambil/mempelajari kitab menurut seleranya pengajar/lembaga. Untuk itu, harus mengikuti progam yang diciptakan IBTIDAI, contoh : Misalkan ada sebuah lembaga yang sudah ada mata pelajaran Ta’limul Muta’allim kemudian mempelajari kitab Ta’limul Muta’allim-nya saja, tanpa dimulai dengan kitab Tijan Ad Darori. Maka, dengan cara seperti itu tidak diperbolehkan, Karena didalam metode IBTIDAI ilmu alatnya dipelajari secara bertahap dan berurutan yang dimulai dari kitab Tijan Addarori kemudian Safinah, Arba’in dan seterusnya. Apabila hal tersebut diabaikan, maka akan terjadi sesuatu hal yang ringan akan menjadi berat, bahkan bukan mendapatkan keberhasilan tapi kegagalan yang disebabkan kesalahan seseorang dalam menjalankan suatu metode.
2.  IBTIDAI mendesain kitab-kitab salaf yang sudah tidak asing lagi di kalangan pondok pesantren. Desain kitab ala metode IBTIDAI tersebut bertujuan agar menjadi mudah untuk dipelajari dan menghilangkan kesan sulit dan rumit bagi pemula yang ingin mempelajari kitab kuning. Jika anak didik IBTIDAI adalah murid sekolah formal yang non pesantren, mereka diuntungkan sekali bisa merasakan dan menikmati materi dan pelajaran ala pondok pesantren tanpa mengganggu materi formalnya.
3.  Kitab-kitab salaf ala IBTIDAI diciptakan dua bahasa, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Hal itu akan memudahkan bagi selain orang yang berbahasa Jawa mampu membaca kitab kuning seperti para ‘Ulama’ Jawa terdahulu dengan berbagai ilmu alat dan terjemahannya.

IBTIDAI adalah Methode ‘Ulama Jawa Kuno
Metode yang ditulis IBTIDAI adalah merupakan cara mengajar ‘ulama kuno jawa yang dibakukan mengikuti perkembangan pendidikan zaman sekarang. Metode IBTIDAI tidak menghilangkan salaf. karena itu, bagi para pecinta ilmu salaf jawa pada khususnya, tidak perlu khawatir terhadap metode ini. Justru IBTIDAI sangat berusaha melestarikan piwulang dan piwucal para ‘ulama jawa kuno agar lebih eksis dan mapan pada era modern ini.
Oleh karenanya, IBTIDAI mengambil bahasa-bahasa piwulang ‘ulama kuno dengan tujuan tingkat kelanjutan ibtidai adalah yang mengajar para kyai-kyai agar bisa bersambung dan berkelanjutan tanpa adanya kesulitan baik dari arah guru maupun muridnya.
IBTIDAI adalah mengawali, membuat bibit masyarakat agar terdorong menjadi dan memilki Akhlaq santri. Tingkat kelanjutannya adalah para kyai yang lebih mampu menyuburkannya agar menjadi buah yang bersih, segar dan berkwalitas untuk masyarakatnya. Untuk itu, metode ini dinamakan IBTIDAI (Permulaan-ku). Gampang dihafal, diucapkan dan mudah diingat, sangat sederhana di tingkatannya. Metode IBTIDAI mempunyai slogan “ Mudah, Ringan Tanpa Beban Hafalan “

Penutup
Mari bersama peduli dengan bangsa Indonesia tercinta ini. Dengan mendidik akhlaq generasi agar bersemangat mempelajari ilmu agamanya mampu menjadi fondamen atas lajunya perkembangan zaman dan kemajuan tekhnologi yang tidak bisa terlepas dengan kehidupan kita. Sehingga kita mampu menyelaraskan antara agama sebagai pegangan hidup menuju yang hakiki dan tekhnologi hanyalah sebagai hiasan kehidupan bermasyarakat. Semoga dengan munculnya metode IBTIDAI bisa membantu pembelajaran ilmu agama untuk mengendalikan diri dari berbagai kemaksiatan dan kemungkaran.
Lindungilah generasi muslim bangsa kita dengan ilmu dan akhlaqnya, agar benar-benar tercipta Bangsa Indonesia yang Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur. Amin.
Ayo berjuang untuk Indonesia !